twitter
rss

FILSAFAT ISLAM
(Konsep Filsafat Menurut Ibnu Khaldun)

A. Pendahuluan
Perlu kita ketahui sebelumnya, apa itu sebenarnya filsafat Islam. Yang memiliki pembahasan yang sangat luas, berfariasi dan memiliki banyak makna dan arti. Sedangkan filsafat itu sendiri secara etimologis ada yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu “falsafah” yang artinya al-hikmah. Akan tetapi, kata tersebut pada awalnya berasal dari bahasa Yunani. “Philos” artinya cinta, sedangkan “sophia” artinya kebijaksanaan. Oleh karena itu filsafat dapat diartikan dengan cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-hikmah. Sedangkan secara terminologis, filsafat adalah proses pencarian kebenaran melalui alur berfikir yng sistematis, artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur dan tahapan-tahapannya mudah untuk diikuti. [1]
Mengenai filsafat Islam, dimaksud dengan “filsafat Islam” ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil dari pemikiran kaum muslimin semata-mata, hal itu juga berlawanan denga sejarah karena kaum muslimin mulanya berguru pada aliran Nestorius dan Jacobitas dari orang golongan Masehi, Yahudi. [2]
Dengan pernyataan demikian tentu para filosof dari kaum muslimin memiliki alasan tersendiri tentang penamaan yang diambil sebagai nama lain dari filsafa, walaupun sebenarnya memiliki titik tentu ataupun tujuan yang berdekatan yaitu mencara hakekat kebenaran tentang sesuatu. Sebagaimana Ahmad Hanafi meyatakan tentang penamaan filsafat Islam bahwa “pemikiran filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat bahwa Islam bukan saja agama, tetapi juga kebudayaan”.[3]
Dari banyaknya para filosof terkemuka di dunia Islam yang menghadirkan konsepnya masing-masing, salah satunya adalah Ibnu Khaldun. Dengan salah satu karyanya yang sngat populer yaitu al-Muqaddimah Ibnu Khaldun.



Makalah ini akan membahas tentang bagaimana konsep filsafat yang dijadikan wejangan oleh seorang filsuf yaitu Ibnu Khaldun.

B. Pembahasan
a.      Biografi dan sejarah Ibnu Khaldun
Abu Zayd ‘Abd al-Rahman b. Muhammad b. Khladun al-Hadlrami dilahirkan di kota  Tunisia-Afrika Utara pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mai 1332 M dan mengadakan perlawatan ke Negeri Andalusia. Tetapi, tidak lama ia menetap di sana, dan kembali ke Afrika Utara serta berkelana di kota-kota lainnya di sana, tapi kemudian kebali ke Andalusia. Ia pergi ke Oran untuk berhijrah, kemudian kembali ke Tunisia, dari mana ia kemudian pergi ke timur, dan menetap di Kairo. Di sini ia diangkat sebagai hakim Agung (Qadli Qudlat) kerajaan. Dan meninggal di Kairo pada tahun 808/1406 M. Beliau hidup pada abad ke-14 Masihi yaitu ketika umat Islam mengalami zaman kemunduran dan perpecahan sedangkan Eropa mengalami kebangkitan zaman Renaissans. Ibnu Khaldun mengungguli ilmuan-ilmuan pada zamannya dalam kitab al-Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar terutama dalam pendahuluannya (al-Muqaddimah), yang dipandang sebagai dasar atau fondasi bagi ilmu sosial (sosiologi) di mana perbedaan watak manusia dikaitkan erat dengan perbedaan lingkugannya.[4] Seperti terkait dengan kemunduran yang dimaksudkan di atas ialah berlakunya perpecahan dikalangan umat Islam dengan mazhab dan juga perpecahan dikalangan kaum Barbar, setengahnya mendukung pemerintahan al-Murabitin dan ada juga yang mendukung kerajaan al-Muwahhidun.
Akibatnya, umat Islam telah mengalami kemunduran dalam bidang intelektual yang mana kebanyakan karya-karya yang muncul ketika itu hanya berbentuk syarah terhadap karya-karya di zaman keagungan Islam yaitu sekadar memberi uraian dan penjelasan yang lebih mendalam terhadap sesebuah karya terdahulu. Berbeda dengan karya Ibn Khaldun yang telah menghasilkan sebuah ide baru khususnya dalam bidang pensejarahan. Beliau telah mempelajari bidang keagamaan ketika zaman mudanya yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran beliau dan penulisan karya-karya beliau. Hal ini terbukti Ibnu Khaldun telah meletakkan pengecualian terhadap mukjizat para nabi dalam konsep sebab-akibat di dalam filsafat dan metode sejarahnya. Berkaitan dengan permasalahan, seperti perubahan zaman ataupun penetuan suatu hukum kehidupan. Sekitar lebih dari dua ribu tahun lampau, Socrates pertama kali menyinggung hukum “sebab-akibat”. Pada saat ini para psikolog menyebutnya dengan hukum “kausalitas”. Hukum ini mengajarkan bahwa setiap sebab akan berdampak pada akibat tertentu yang akan ditimbulkannya.[5] Pegangan inilah yang membedakan di antara seorang ilmuwan Islam dengan ilmuwan barat. Walaupun seseorang bebas untuk menggunakan akal fikiran dalam mengkaji alam, namun agama menjadi pembimbing dalam menentukan semua gerak kehidupan. Berbeda dengan konsep keilmuan dalam dunia barat yang menganggap agama sebagai pengungkung manusia mencapai kemajuan.

b.      Karya-karya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun telah menulis karya bersejarah seperti al-Muqaddimah yang merupakan pendahuluan karya besarnya al-I’bar menguraikan bahwa sejarah menjadikan kita mengenal kondisi masa lalu suatu bangsa yang direfleksikan dalam karakter kebangsaan. Hal ini yang menjadikan kita mengenal biografi Nabi-nabi dan dinasti-dinasti dengan segala aturan kebijakannya. Penulisan sejarah juga menghendaki adanya sumber-sumber yang banyak dan varian pengetahuan yang tinggi. Ia juga mengharuskan ahli sejarah mempunyai pemikiran yang spekulatif dan ketelitian. Dua prinsip ini yang akan mengawalnya untuk mencapai kebenaran dan menjaganya dari kesalahan.
Kitab Muqaddimah tersebut merupakan pendahuluan sebuah kitab atau karya yang lebih besar berjudul Kitab al-’Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-khabar fi Ayyam al-’Arab wa Al-’Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi al-Sulthan al-Akbar yang bermaksud Kitab iktibar dan himpunan tentang asal usul dan peristiwa hari-hari bangsa Arab, Persia, Barbar dan Orang-orang yang sezaman dengan mereka yang memiliki kekuasaan yang kuat. Karya ini telah dibagikan kepada empat bagian yaitu Pendahuluan (al-Muqaddimah) yang membahaskan mengenai disiplin sejarah dan filsafat sejarah yang juga dibahas mengenai kesalahan-kesalahan para sejarawan terdahulu. Buku Pertama membincangkan hal peradaban secara umum, Dinasti, Raja dan pemerintahan, persoalan mencari harta pencarian dan perbincangan mengenai kepelbagaian ilmu pengetahuan. Buku Kedua, menguraikan tentang sejarah bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang sezaman dengannya seperti Qibti, Yunani, Romawi dan Turki. Buku Ketiga pula menghuraikan sejarah bangsa Barbar dan Zanatah, khususnya kerajaan dan Negara-negara di Afrika Utara (Maghribi). Selain dari kitab al-‘Ibar yang terkandung di dalamnya kitab Muqaddimah, Ibn Khaldun juga telah menghasilkan sebuah kitab yang memaparkan otobiografi hidupnya. Kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuh Garban wa Syarqan. Al-Ta’rif telah mencatatkan riwayat hidup Ibn Khaldun sejak masa mudanya hingga ke beberapa bulan sebelum kematiannya. Dari karya al-Muqaddimah inilah Ibnu Khaldun merumuskan hukum sejarah. Dalam pandangannya sejarah tidak lebih dari sekedar menguraikan tentang peristiwa-peristiwa, nama-nama penguasa atau silsilah keturunan dan angka-angka tahun. Menurut Ibn Khaldun pengetahuan itu tidak mewakili wawasan disiplin ilmu sejarah. Pemikiran Filsafat sejarah Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah secara luas dibahas dalam bab dua kitab al –I’bar.

c.      Ibnu Khaldun dan Filsafat
Menilik sejarah perjalanan hidup Ibnu Khaldun ataupun biografinya, ada beberapa hal dapat kita petik; keragaman ilmu yang ditekuni, apresiasi dan patronisasi, kesungguhan dan kreatifitas. Pertama, keberagaman ilmu . Keberagaman cabang ilmu yang diminati para tokoh terdahulu dengan beragam merupakan salah satu bentuk sikap terbuka terhadap ilmu-ilmu apa pun jenisnya. Kedua, apresiasi yang tinggi dari masyarakat penguasa terhadap ilmuan dan perkembangan ilmu pengetahuan telah mendorong banyak orang untuk menggali ilmu yang diminatinya dengan penuh kesungguh-sungguha. Ketiga, kesungguhan dan kreatifitas. Apresuasi tidak cukup untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan. Faktor eksternal ini juga ditunjang oleh faktor internal, yaitu kesungguhan dan kreativitas ilmuan itu sendiri.[6]
Filsafat sejarah menurut Ibnu Khaldun yaitu mengkaji fenomena-fenomena sosial secara lebih umum, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu dan mengkajinya dari segi tujuan yang ingin dicapai, serta hukum mutlak yang mengendalikannya sepanjang sejarah. Dalam pandangannya masyarakat merupakan mahluk histories yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum khusus, yang berkenaan dengannya. Hukum itu dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Ia berpendapat sesungguhnya ‘ashabiyyah merupakan asas berdirinya suatu negara, dan faktor ekonomis yang merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Dari pendapat itu, Khaldun dapat dianggap sebagai tokoh pelopor materialisme sejarah, jauh sebelum Karl Marx. Dengan karyanya terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori Filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Khaldun dengan teorinya berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah satu siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa berkembang, masa puncaknya kemudian masa menurun dan akhirnya masa kehancuran. Khaldun mengistilahkan siklus ini dengan tiga tangga peradaban.
Konsep gerak sejarah Ibn Khaldun mengikut pada tiga aliran Filsafat sejarah. Pertama, aliran sejarah sosial. Aliran ini berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat ditafsirkan, dan teori-teorinya dapat dihuraikan dari fakta-fakta sejarah. Kedua, aliran ekonomi. Aliran ini menafsirkan sejarah secara materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Setiap perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomenanya merujuk pada faktor ekonomi. Karl Marx adalah tokoh yang mengembangkan aliran Filsafat sejarah ini. Ketiga, aliran geografis. Aliran ini memandang manusia sebagai putra alam lingkungan, dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu dalam penyejarahannya, seseorang, masyarakat dan tradisi-tradisinya dibentuk oleh lingkungan dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga bisa mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Ibn Khaldun fenomena-fenomena sosial tunduk pada hukum perkembangan. Demikian juga dengan gerak sejarah, ia mengalami perkembangan, yaitu mempunyai corak dialektis.
Selanjutnya dalam pandangan Ibn Khaldun ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Pertama, faktor ekonomi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan ekonomi menentukan bentuk kehidupan. Perbedaan agama seseorang bisa lahir karena penghidupan, keadaan dan waktu. Kegiatan ekonomi menjadi salah satu yang terpenting dalam mengendalikan kehidupan sosial, politik, moral masyarakat dan pikiran mereka. Kedua, faktor geografis, lingkungan dan iklim. Pengaruh geografi misalnya orang yang menempati kawasan yang kaya hasil bumi, biasanya cenderung malas-malasan dan pengaruhnya mereka akan malas serta lamban dalam berpikir. Sedangkan orang yang menempati kawasan yang miskin hasil bumi, cenderung rajin dalam bekerja karena makanannya terbatas tetapi minda mereka lebih tajam. Ketiga, faktor agama. Ibn Khaldun meyakini adanya pengaruh dan pengarahan Tuhan terhadap segala yang terjadi. Ia berkesimpulan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia wujud pada setiap ruang dan masa. Alam dan seisinya dibagikan kepada manusia sebagai khalifah-Nya. Sisi inilah yang membuktikan bahwa Ibnu Khaldun merupakan seorang pemikir dan ahli Filsafat sejarah Islam. Ia mampu menghubungkan antara ekonomi, alam dan hukum determinisme dalam sejarah.
Berkaitan dengan hukum determinisme sejarah, Ibn Khaldun menguraikannya dalam tiga hukum. Pertama, Hukum Sebab-Akibat (Legal Causality) yaitu hukum determinisme yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kealaman pada asal mulanya. Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum ini sebagai salah satu diantara dua prinsip Filsafatnya. Ia meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara realitas dengan fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di alam ini dapat dicari hukum kausalitasnya. Kecuali mukjizat para nabi dan karomah para Wali. Kedua, Hukum Peniruan (Legal Copying). Menurut Khaldun peniruan itu sendiri merupakan satu hukum yang umum. Peniruan bisa menyebabkan kesamaan sosial. Ia menguraikan bahwa kelompok yang kalah selalu meniru kelompok yang menang dalam pakaian, tanda-tanda kebesaran, aqidah dan adat. Ketiga, Hukum Perbedaan (Legal Differences). Hukum ini juga diasumsikan sebagai salah satu hukum determinisme sejarah. Masyarakat menurut Ibn Khaldun tidaklah sama secara mutlak, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan yang harus diketahui oleh sejarawan. Lebih jauh Ibn Khaldun menghubungkan bahwa perbedaan-perbedaan semakin membesar karena faktor geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi dan agama.
Sebagai seorang muslim penulis sejarah, bahkan peletak dasar filsafat sejarah, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ada tujuh penyebab kesalahan dalam penulisan sejarah. Salah satunya yang paling penting ialah; sejarahwan tidak memahami hukum-hukum perubahan masyarakat, padahal setiap peristiwa bahkan segala sesuatu tunduk pada perubahan. Dalam bukunya penyebab yang ini merupakan yang paling memberikan pelajaran dan penyebab ini pula yang merupakan esensi filsafat sejarah. Pada dasarnya, filsafat sejarah secara pengertian sederhananya adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa untuk menetapkan hukum-hukum umum.[7]
Sebenarnya, dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang mengingatkan kita agar belajar dari sebuah sejarah. Sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 137 yang artinya; “sungguh telah berlalu sebelum kalian sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalan di muka bumi untuk memperhatikan akibat apa saja yang menimpa orang-orang yang mendustakan Allah.” Arti ayat di atas menunjukkan bukti peganjuran bagi kita untuk belajar dari sebuah sejarah.


C. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan dari makalah ini, diantaranya :
1.   Ibnu Khaldun mengungguli ilmuan-ilmuan pada zamannya dalam kitab al-Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar terutama dalam pendahuluannya (al-Muqaddimah), yang dipandang sebagai dasar atau fondasi bagi ilmu sosial (sosiologi) di mana perbedaan watak manusia dikaitkan erat dengan perbedaan lingkugannya.
2.   Dalam karyanya “al-Muqaddimah” Ibnu Khaldun merumuskan hukum sejarah bahwa, “sejarah tidak lebih dari sekedar menguraikan tentang peristiwa-peristiwa, nama-nama penguasa atau silsilah keturunan dan angka-angka tahun. Menurut Ibnu Khaldun pengetahuan itu tidak mewakili wawasan disiplin ilmu sejarah.”
3.   Menurut Ibnu Khaldun, Konsep gerak sejarah mengikut pada tiga aliran Filsafat sejarah. Pertama, aliran sejarah sosial. Berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat ditafsirkan, dan teori-teorinya dapat dihuraikan dari fakta-fakta sejarah. Kedua, aliran ekonomi. Yaitu menafsirkan sejarah secara materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Ketiga, aliran geografis. Yaitu memandang manusia sebagai putra alam lingkungan, dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Dan penyejarahannya, seseorang, masyarakat dan tradisi-tradisinya dibentuk oleh lingkungan dan alam dimana ia berada. Menurut Ibnu Khaldun fenomena-fenomena sosial tunduk pada hukum perkembangan.



DAFTAR PUSTAKA
Elfiky, Ibrahim, Dr., “Jangan Tunda Sukses” 2010, Jakarta, Maktabah Ubaikah.
 Abdul Hakim, Atang, dan Ahmad, Beni, “Filsafat Umum”, 2008, Bandung, Pustaka Setia.
Supriyadi, Dedi, “Pengantar Filasafat Islam”, 2009, Bandung, Pustaka Setia.
Kartanegara, Mulyadhi, “Mozaik Khazanah Islam”, 2000, Jakarta, Paramadina.
Tafsir, Ahmad, “Filsafat Pendidikan Islam”, 2010, Bandung, Remaja Rosdakarya.

DAFTAR RIWAYAT PENULIS
Mohammad Firdaus, lahir di sumenep, 31-01-1991 tepatnya di kota ukir desa karduluk, anak pertama dari dua besaudara, tamat sekolah dasar (SD) tahun 2003, bertepatan pada tgl 6-juli-2003 nyantri di pondok pesantren Al-amien Prenduan Sumenep Madura sampai sekarang, Alhamdulillah masih diberi ksempatan mengabdikan diri di pondok tercinta, tahun 2011 mulai aktif sebagai mahasiswa di institute dirosat Al-islamiyah fakultas tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
Ach. Fauzi Pratama, lahir pada 27 Oktober 1992 tepatnya di desa Tambak I Kec. Omben Kab. Sampang Madura, anak pertama dari tiga besaudara, tamat sekolah dasar (SD) tahun 2005. Pada tgl 20-juli-2005 dia merapat di TMI Al-Amien Prenduan. Al hamdulillah dia bisa menyelesaikan masa studinya pada tahun 2011, dan aktif sebagai pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia kelas IV dan III Int. (I SMA). Dia juga aktif sebagai mahasiswa di Institute Dirosat Al-islamiyah Fak. Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
Sahwiyadi Abd. Rasik,  Lahir pada Tanggal 09 Juli 1992. Tepatnya di Desa. Terindah Angkatan Sabua Pulau Kangean (Sumenep). Anak pertama dari dua bersaudara. Mengakhiri masa-masa indah belajar di Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2005. Dan langsung melanjutkan masa studynya ke TMI Al-Amien Prenduan tanpa kehadiran apitan kedua orang tua, karena berada di Negeri Jiran Malaysia. Alhamdulillah bisa menuntaskan masa studynya pada Tahun 2011 dengan baik. Dan melangsungkan masa studynya Ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ke IDIA Al-Amien Prenduan konsentrasi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) sampai saai ini.
Moh. Kholil, merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang terlahir bersamaan dengan panennya daun emas di Pulau Garam. Tepatnya di sebuah desa di temukannya “Jokotole” (Pekandagan:red). Ia merupakan salah satu pendiri “FBSI” (Forum Bahasa dan Sastra Indonesia) ketika masih aktif dalam studynya di P.P. Al-Amien Prenduan. Setelah lulus dari Al-Amien melanjutkan masa studynya ke perguruan tinggi IDIA Al-Amien Prenduan sampai sekarang.





[1] Drs. Atang Abdul Hakim, Drs. Beni Ahmad S “Filsafat Umum”, 2008, Bandung, Pustaka Setia. Hal 14
[2] Dedi Supriyadi, M.Ag “Pengantar Filasafat Islam”, 2009, Bandung, Pustaka Setia. Hal 28
[3] .......Ibid. hal 28
[4] Dr. Mulyadhi Kartanegara, “Mozaik Khazanah Islam”, 2000, Jakarta, Paramadina. Hal 24
[5] Dr. Ibrahim Elfiky, “Jangan Tunda Sukses” 2010, Jakarta, Maktabah Ubaikah. Hal 31
[6] Dr. Mulyadhi Kartanegara, “Mozaik Khazanah Islam”, 2000, Jakarta, Paramadina. Hal 25
[7] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, “Filsafat Pendidikan Islam”, 2010, Bandung, Remaja Rosdakarya. Hal 143