UJIAN DI PESANTREN ADALAH UJIAN HATI (Menjadikan Pesantren Sebagai Tolak-ukur Dalam Pelaksanaan Ujian)
Pembicaraan
yang tidak pernah ada habisnya dan juga selalu ada dalam setiap tahunnya adalah
yang berkaitan dengan proses pengeksistensian pendidikan yaitu; Ujian.
Ujian disini memiliki nilai dan juga propaganda yang besar dalam proses
pengembangan intelektual seorang pendidik, terutama anak didik yang selalu berjihad
untuk memperoleh pencerahan hidup dengan ilmu. Karena ilmu merupakan salah satu
hal ataupun alat yang memiliki nilai begitu besar, bukan hanya dalam kehidupan dunia
(ad-dunyawiyah). Akan tetapi, juga memililki nilai religius yang lebih
di akhirat kelak. Keutamaan ilmu begitu besar, sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an yang Artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11). Ayat di atas menerangkan dengan begitu
jelas dan tegasnya, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antara yang lainya dan juga orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan.
Berbicara
tentang ujian. Tentu akan menimbulkan persepektif yang berbeda-beda. Hal ini
merupakan suatu kebiasaan yang bersifat wajar. Karena pemaknaan tentang ujian
memiliki makna yang sangat luas, terutama pemaknaan ujian yang berkaitan
langsung dengan Allah Swt. Dan juga hal ini menjadi ranah perjalanan hidup
manusia yang harus dipertaruhkan dan juga diperjuangkan agar bisa mencapai
tujuan yang haqiqi. Hal ini merupakan keharusan yang harus dijalani dan
juga harus kita bumbui dengan urusan-urusan yang bersifat memiliki kandungan
yang besar dan mulia di hadapan Allah Swt.
Dan
pembicaraan yang sangat jelas menurut realita yang ada adalah; ujian yang
berkaitan dengan kehidupan dalam pengembangan ilmu pendidikan. Karena ilmu
pendidikan merupakan salah satu wadah untuk pengembangan keihidupan dan jugan
derajat manusia agar leih bernilai disisi manusia, dan yang terpenting adalah berpahala
disisi Allah Swt. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang Artinya “Katakanlah:
Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9). Hal ini yang memantik perhatian hidup kita
pada zaman sekarang ini. Banyak sekali realita yang menggambarkan ketidak
sehatan dalam rana pendidikan pada zaman sekarang ini, lebih-lebih apabila
mereka melaksanakan yang namanya ujian. Begitu besar kosekuensi yang ada dalam
ujian. Disamping mereka megiginkan nilai
yang lebih dan agus, mereka para pendidik dan anak didik juga mengiginkan perubahan
dalam diri pendidik dan yang lebih besar adalah keinginan para pendidik
terhadap anak didiknya agar mengalami perubahan. Terutama yang berkaitan langsung
dengan kecakapan intelektual (IQ) pada diri anak didik.
Pemaknaan
tentang ujian pada zaman sekarang ini lebih banyak keluar dari makna yang
sebenarnya. Karena kenapa?. Sebagaiman yang kita ketahui menurut realita yang
ada, refresentasi tentang ujian begitu relavan kepada hal-hal yang bersifat
keduniaan (ad-dunyawiyyah). Seperti, banyaknya kejadian-kejadin diluar
dugaan kita. Banyak persoalan dalam pendidikan di tanah ini. Sehingga, tujuan
pendidikan semakin jauh dan tak terkejar. Pada saat yang sama peserta didik
gamang dan menganggap pendidikan tidak penting. Sebab, pintar saja tidak cukup
untuk menjadi guru karena pengajar di republik ini diukur seberapa banyak uang
yang di keluarkan saat melamar sebagai tenaga pengajar melalui saringan PNS.
Dan
yang paling memantik perhatian masyarakat luas pada saat ini adalah; pada saat
peserta didik mendapat inspirasi dan ilmu yang baru tentang kebohongan asal
tujuan yang ingin diperoleh bisa tercapai. Padahal, ia sesungguhnya tidak ahli mengajar
dan mendidik. Tetapi karena tidak punya pekerjaan dan bukan sosok inovatif,
lalu dipilih profesi guru sesuai ijazahnya dengan cara membayar. Ia seperti
pemain sepak bola yang tidak mahir tetapi lolos seleksi karena panitia menerima
“tanda jasa”. Maka dalam konteks ini dengan kulifikasi guru yang seperti itu,
di ruang kelas peserta didik tidak betah.
Pengintegrasian
tujuan-tujuan yang ada dalam pikiran manusi tentu akan memberikan dampak yang
kurang baik bagi kehidupannya. Terutama, bilamana seorang anak didik hanya
mengigjnkan nilai yang bagus dan membanggakan bagi kedua orang tuanya, sampai
dia rela dengan banyak hal-hal yang keluar dari syari’at Islam dan juga
melangar hukum-hukum dalam Negara. Pemberlakuan kepada anak didik memang memtbuhkan
hal-hal yang positif agar memberikan
dampak yang positif dan bagus pula dalam melesatrikan estafeta perjalanan
hidupnya untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. Sebagaimana yang berlaku
pada saat ini ketika pelaksanaaan ujian. Pengawasan tentang ujian memang begitu
ketatnya, agar hal ini bisa memberikan dampak positif agi anak didik dengan
menjauhkan dirinya dari hal yang buruk, seperti contek mencontek dalam ujian.
Karena hal ini merupakan salah satu penyakit yang sudah lama di endap para anak
didik yang kurang mengerti arti ujian yang sebenarnya.
Dan
yang paling tanpak kepada khalayak masyarakat luas adalah; apa yang terjadi pada
salah satu anak didik dalam Sekolah Dasar (SD). Naluri peserta anak didik dapat
merasakan siapa saja yang secara kualifikasi tidak layak menjadi guru. Tapi kok
lolos menjadai guru? Inilah yang sebagian dirasakan peserta didik di salah satu
SD di Surabaya yang terkena kasus contek masal pada saat UAS-BN lalu. Seorang
peserta didik yang menerima pelajaran kejujuran dari rumah, tiba-tiba mengalami
situasi yang kontradiktif saat anak ini berada di sekolah. Pergaulan batinnya
di temukan dengan yang diyakini benar adanya sebagai kejujuran berakhir dengan
curhat. Dari curhat yang menggambarkan contek masal ini, anak ini justru dianggap
berbohong dan salah.
Gambaran
diatas merupakan salah satu bentuk contohan kurang baik dan yang harus menjadi
iktibar (kaca perbandingan) bagi anak didik yang lain. Agar perjalanan
pendidikannya selalu lancar dan penuh dengan kejujuran-kejuran ilmu yang diperolehnya.
Karena apaila seoarang anak didik sudah terbiasa dalam melakukan kejujuran,
maka sampai kapanpun akan tercermin dalam hatinya sebuah kejujuran dalam setiap
urusan hidupnya. Pengaktualisian pendidikan memang membutuhkan kebersihan dari
kotoran-kotoran yang dapat menodai tujuan yang sebenarnya dalam pendidikan,
terutama dalam ujian. Barang tentu anak yang sudah teriasa dalam melakukan
kesalahan-kesalan dalam unjian, dia akan merasa risih dan tidak tenang bila
tidak melakukan kebiasaannya dalam mengikuti ujian tersebut. pembelajaran yang
terpenting bagi anak didik adalah pendidikan watak dan karakter anak didik,
karena kerakter merupakan cerminan yang akan dibawa sampai ,kapanpun dia
belajar, tanpa ada atasan yang haus di ikutinya.
Dengan
segala hiruk-piuk perjalanan ilmu pendidikan yang ada, dan juga dengan
banyaknya noda-noda yang mencampuri perjalanan pendidikan salah satunya adalah
yang berkaitan langsung dengan Ujian. Dalam hal yang semestinya terjadi dan
peruahan yang harus kita benahi bersama. Pondok Pesantrenlah yang menjadi
alternative utama dalam peneladanan dalam setipa pelaksanaan ujian apapun.
Karena dalam sebuah pesantren khususnya di pulau garam (Madura) ini, pondok
pesantren sangat banyak sekali dan juga memiliki santri yang begitu banyak pula.
Akan tetapi dalam pelaksanaan ujian Al-hamdulillah terjaga dari hal-hal
yang tidak kita inginkan seperti; saling contek mencontek. Walaupun ada hal itu
akan berdampak fatal bagi pelakunya. Karena ujian di dalam sebuah Pondok Pesantren
memiliki nilai yang lebih, dengan artian bukan hanya memiliki tujuan agar para
anak didik bisa lulus dan memperoleh nilai yang aik dan bagus. Akan tetapi,
nilai ujian dalam sebuah pondok pesantren adalah agar apa yang tel;ah
dipelajari bisa diimplementasikan oleh anak didik dalam kehidupan sehari-hari.
Dan juga agar anak didik bisa mengetahui tujuan ujian itu yang sebenarnya .
karena pengidealisasian tujuan ujian bisa memberikan nilai kejiwaan kepada para
anak didik.
Seorang
Santri yang kesehariannya diajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pendidikan
hati, tentunya dia akan bisa mendidik hatinya dengan sendirinya. Karena apabila
seorang anak didik bisa mendidik hatinya sendiri dengan ilmu-ilmu Allah Insya
Allah dia akan selalu terjaga dari firus-firus kehidupan yang menjangkiti
orang-orang yang berada disekelilingnya. Karena seorang yang berilmu memiliki
kedudukan yang tinggi disisi Allah daripada orang yang beriman. Sebagaimana
dalam kitab Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, dari ibnu Abbas ra. Berkata bahwa “orang
yang berilmu memiliki keunggulan 700 derajat di atas orang yang beriman, yang
mana jarak antara dua derajat adalah perjalanan 500 tahun.” Santri yang
kehidupanya lebih banyak dipenuhi dengan pengajaran-pengajaran tentang Agama (ad-Din),
khususnya Agama Islam, pastinya dia akan mengembangkan potensi dirinya dalam
pengintegrasian tentang urusan-urusan yang berkitan dengan dunia dan juga
akhirat. Yang memang menjadi tujuan utama semua ummat manusia. Khusunya Islam
itu sendiri, yang memang semau urusannya
bertitik tuju hanya mengharapkan Ridho, Tufiq, Hidayah, dan Ma’unah dari Allah
Swt.
Menjadikan
Pondok Pesantren sebagai solusi percontohan dalam melaksanakan ujian di sini
bukanlah hal itu tidak berdampak lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan
tren positif kerja Pondok Pesanren dalam mengajarkan kejujuran kepada seluruh
para Santri-santinya. Hal ini saya rasa tidak terlalu menjadi beban bagi setiap
Santri yang menjadi aktor di dalamnya. Karena memang Santri sudah diajari dan
di biasakan untuk menjauhi yang namanya penyelewengan-penyelewengan dalam hal pendidikan
terutama yang berkaitan dengan ujian.
Seharusnya
yang terpenting sekarang adalah bagaimana sekolah-sekolah umum di luar juga
bisa menjadikan Pondok Pesantren sebagai solusi utama percontohan dalam ujian
tersebut. karena kejujuran sangat berbahaya bilamana kita tidak memberantasnya
mulai sejak dini adanya. Akan tetapi, hal itu tidak akan sempurna kalau tidak ada
kesadaran dalam hal tersebut timbul dari dalam dirinya sendiri. Wallaahu
A’lam Bis-Shawab.